Saturday, February 26, 2022

Cerpen


 

Bingung

 

Oleh : Ahmad Fachri Mauludy

 

    Suara petir bergemuruh dimalam itu, bagaikan gergaji mesin yang bekerja disiang hari. Tebalnya awan hitam yang berbentuk gumpalan permen kapas, kelam, mereka melahirkan hujan yang sangat lebat. Darah bercucuran dibagian tubuhku, membanjir, semua kata-kata yang kurang enak didengar pun terlontar dari mulutku, Perkelahian yang sengit pun terus berjalan, pukulan demi pukulan mencoba untuk meminta sebuah penjelasan dan pertanggung jawaban, “Apa yang telah kau perbuat kepadanya ?!” teriakku dengan penuh amarah. Kuhajar dia dibagian hidungnya hingga mengeluarkan darah, “Hei ! cepat jawab...!!!”. Dia hanya terdiam lemas sambil memasang muka melas, aku pun menanyainya lagi dengan suara yang lebih pelan tapi tegas “Apa benar kau yang menyakiti perasaan Reina dan berniat untuk mencampakannya?”. Pada akhirnya diapun menjawab pertanyaanku “Iya,,saya memang sudah tidak merasa nyaman lagi dengan Reina.” Dengan raut wajah yang bingung ditambah perasaan takut atas perlakuan yang dia perbuat kepada Reina. Aku pun menasihatinya dengan mengatakan “Kamu Rehan, kan ? dengarkan omongan ku baik-baik, kalau kamu dari awal, memang merasa tidak yakin, atas hubunganmu dengan Reina tidak akan bertahan lama, mengapa kamu malah menjalani hubungan tersebut?.”

“ya saya khilaf, saya minta maaf karena saya telah menyakiti perasaan Reina dan membuatnya menangis, saya juga akan segera menemui Reina dan meminta maaf kepadanya.”

    Sebagai saudaranya Reina, dan memang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri, aku tidak mungkin membiarkan seseorang menyakitinya, apalagi menyakiti perasaanya. Sehingga, bisa membuat Reina sedih. Segera kusuruh dia pergi dari pandanganku. Aku pun pulang tengah malam dengan baju yang berlumuran darah, yah..nyaris  separah perkelahian yang ada difilm CROWS ZERO haha... Setibanya dirumah, mengendap-endap aku kedalam rumah seperti tikus yang hendak mencuri keju didapur, sesampainya diruang tamu, aku merasa sedang diintai oleh ayah atau  ibuku, Dalam hati ku mengatakan ”jangan sampai ayah atau ibu yang mengawasiku, lebih baik aku diawasi oleh malaikat. Sedikit ku melirik ke kanan-kiriku, tapi tidak ada siapa-siapa. Mungkin, karena sudah larut malam, jarum jam pun menunjukan pukul satu malam, ku ulurkan tanganku ke gagang pintu kamarku dengan perlahan tapi pasti, “plak,,” dari mana kamu?, datang menjelang pagi,”sambar ayahku tiba-tiba. Aku tercengang melihat ayah yang terlihat begitu marah, yah meskipun aku sudah menduganya, tentu karena aku pulang lewat tengah malam.

“Dari mana saja kamu?” tegas ayahku

“Em,,anu yah..”Aku pun bingung mau menjawab apa pada waktu itu, akhirnya sudahlah, apaboleh buat, aku jawab saja dengan kata-kata sederhana tapi typo sedikit, haha..

“Dari rumah teman yah.”

“Jam segini baru dateng, habis ngapain aja kamu.?” Nada suara ayahku meninggi.

“Habis main, Yah, sembari mengerjakan tugas bareng teman-teman.” Ah sial aku tergagap dan aku pun punya perasaan buruk mengenai kata-kata yang keluar dari mulutku.

“Bohong kamu, ayah tau kamu habis berkelahi kan? pakaian kotor begitu.

“Di tambah lagi ada bekas darah dipakaian mu..”tukasnya lagi,

    Sedetik kemudian ayah mendaratkan tamparan keras, lagi ”Plakkkkk....!!”. Merahlah wajahku ini,  merasakan perihnya tamparan sang ayah yang emosinya meluap tak terbendung, seperti  kereta api yang melaju cepat diatas rel.

“Maaf ayah, aku berkelahi karena berniat untuk membela Reina yah..”

“Memangnya apa yang terjadi dengan Reina?” Nada suara ayahku melunak, dahinya dikernyitkan.

“Jadi gini yah, Reina dibuat menangis oleh pacarnya yah” aku menghela nafas

“Kemudian Reina bercerita kepadaku tentang masalahnya,” kembali aku terjeda oleh helaan nafasku lagi “Dengan air mata  yang bertetesan dari kedua matanya, aku pun tidak tega melihatnya dibuat sedih.”

“Kemudian.. kamu mencari pacarnya itu.. lalu berkelahi dengannya, begitu?” Meninggi kembali suara ayahku.

“Iya yah”. Kataku dengan perasaan menyesal tapi sedikit puas, karena bisa menghajar laki-laki tersebut.

“ya sudahlah, lain kali, kalo ada permasalahan seperti itu kamu selesaikan baik-baik”

“Sekarang cepat mandi, lalu pergilah tidur sudah pukul dua pagi sekarang, masih ada waktu buat tidur” api kemarahan mereda di mata ayahku.

“Tapi yah, setelah mandi aku ingin sholat tahajud dulu”tambahku

“ya udah sana, setelah sholat langsung tidur” ayah berlalu

“Siap..ayah.” uacapku dengan ekspresi wajah tanpa dosa/watados, karena telah menghajar anak orang sampai berdarah haha..

    Setelah sholat, aku pun langsung bergegas menuju tempat tidurku, glabrukk...terkapar lemas tubuh ini diatas kasur.

    Silaunya mentari pagi, yang dengan sengaja menusuk ke arah mataku, saat aku sedang rep-repan atau lebih epatnya tertidur lumpuh. Kiranya aku ini sudah mati, karena yang bisa kulihat hanyalah sebuah cahaya yang begitu silau, aku kira sudah berada di akhirat. Eh gataunya aku ini masih ada di dunia fana, malah kesiangan pula, jarum jam menunjukan pukul sebelas lebih tiga puluh menit.

    Kupaksakan tubuh ini, untuk segera bangkit dari zona nyamannya, lalu ku bergegas untuk menjamah air yang entah kenapa hari itu tersa berkali-kali lipat lebih dingin, setelah itu aku berniat untuk bertemu dengan Reina, sialnya para cacing di perutku meronta, mereka meminta sesajen yang disebut sarapan, tapi sialnya pula makanan di dapur sudah habis, tak tersisa satu makanan pun di atas meja makan. Tanpa pikir panjang, bergerak dengan sendirinya tubuh ini ke luar, untuk mencari makan. Mataku berhenti setelah menangkap Rumah Makan Padang, kemudian aku memesan menu favoritku yaitu ayam kremes sambal goang ditambah minumnya jus durian, duduk manis ku menunggu pesanan sambil menahan lapar dan haus yang menjalari isi perutku, tiba-tiba.. sebuah kepretan pelan mendarat di punggungku.

“Hei, Kak..lagi ngapain ?” rupanya itu Reina. kebetulan dia juga sedang menunggu pesanannya, kebetulan sekali, aku pun tidak harus bersusah payah untuk menemuinya.

“Eh Reina, aku kira siapa, ini aku sedang menunggu pesanan.” Aku melemparkan seulas senyum

“Oalah..emangnya bunda ga masak ya, Kak?” Reina mencondongkan tubuhnya kearahku.

“Masak sih masak, Cuma aku nya aja yang bangunnya kesiangan jadi ketinggalan makan deh” timpalku

“ya udah deh ka, aku ikut makan bareng kaka aja disini, ngga jadi dibungkus” tambahnya.

“ya udah, em..Reina, kaka mau tanya sesuatu, nih” ah aku memang harus mengatakan ini pada Reina.

“iya ka, mau nanya apa”Reina mengernyitkan dahinya.

“Mengenai Rehan, apa dia sudah menemuimu?” aku menyeret tubuhku lebih dekat

“iya, barusan tadi sebelum aku berangkat kesini, dia menemuiku didepan rumah”

“Apa dia sudah minta maaf padamu?” tanyaku, penasaran.

“udah ka, rehan juga telah menjelaskan semuanya kepada Reina” nada suaranya pelan, namun aku menangkap ketenangan disana.

“Berarti, masalah kamu sudah selesai kan dengan rehan?” tanyaku lagi.

“Iya, kak, semuanya sudah kelar” Reina menyuguhkan seulas senyum.

“sukur deh kalo gitu, sekarang tinggal makan, kalo kelamaan didiemin ntarnya ga enak, bisa-bisa dingin”. “iya, kak, selamat makan..” ucapnya sembari menyambar sedok dan memenuhinya dengan nasi dan lauk.

    Akhirnya masalah Reina pun selesai, aku harap kedepannya Reina bisa memilih laki-laki yang tepat, yang bisa menjaganya dari keadaan apaun yang bisa membuatnya terluka.

    Dalam tengah malam, aku terduduk di teras depan rumah, angin malam merasuki setiap pori-pori kulitku, dikarenakan..suasananya yang tidak begitu akrab dengan keramaian, mata ku terbuka memandangi langit malam,entah apa yang aku pikirkan. Pikiranku kosong tapi aku seperti orang intelek yang sok memikirkan sesuatu. Kata demi kata pun, singgah di kala itu, sehingga membentuk sajak-sajak yang kurang masuk akal untuk di dengar, begitulah pikirku.

    Di malam yang begitu tenang itu sepintas ku memikirkan masa depan. Hanya saja, aku bingung, harus memulainya dari mana. Ari, namaku Ari Ahmad Bisri. Saat ini umurku genap tujuh belas tahun. Menurut orang-orang, umur tujuh belas tahun itu, masa-masa remaja. Masa-masa dimana sesorang mulai mengenal cinta. Masa yang menyenangkan katanya. Tapi justru aku khawatir, aku justru mungkin lebih memilih menjadi anak-anak yang tidak tau apa –apa mengenai cinta dari pada menjadi remaja. Memang sih dari cinta kita bisa bahagia, tapi aku percaya kebahagiaaan sesseorang beda-beda dan tidak harus sama. Masaku saat ini ialah masa remaja, masa transisi dan pencarian jati diri. Itulah yang membuatku sedikit khawatir akan cinta. Aku takut jatuh cinta yang pada akhirnya akan membuatku jatuh terpeleset kedalam jurang yang sangat dalam, hingga aku sulit keluar dari jurang itu. Seperti apa yang telah terjadi pada Reina.

    Olahraga adalah hobiku, salah satu cabang olahraga yang aku tekuni ialah Taekwondo,  Selain itu, menulis juga sudah menjadi hobiku. Menulis segala sesuatu yang menurutku itu harus ditulis. Berimajinasi dengan cerita tak masuk akal, berkhayal dengan cerpen fantasi. Mereka yang selama ini kumasukan dalam sajak puisiku. Mereka adalah tokoh-tokoh utama di setiap ceritaku.

    Nashwa, itulah namanya,nama gadis itu, salah satu teman seperguruan yang aku kagumi. Keberadaanya di tempat latihan, kadang membuatku grogi dan salah tingkah saat guru menyuruhku untuk berpasangan dengannya. Sebenarnya aku juga keliru dengan diriku sendiri, kadang tidak begitu mengakui keberadaan cinta. Tanpa kusadari bisa saja rasa kagumku ini kepada nashwa bisa melebihi rasa yang mungkin bisa menimbulkan perasaan cinta di masa remaja.

 “Kriiingggg” Jam weker ku menjerit-jerit. Itu tandanya aku harus pergi ke tempat latihan,   untuk persiapan turnamen Taekwondo antar atlet pelajar se-Jawa Barat. Aku pun pergi bersama Mamat. Dia adalah salah satu teman yang sering sparing denganku. Walaupun dia sering ogah-ogahan kalo di suruh sparing denganku. Karena kita beda kelas.

  “Hari ini Ari dan Mamat sparing!!!” ucap guruku dengan ketegasannya

“Siap guru” balasku, tegas.

“Baiklah guru, apaboleh buat”ucap mamat dengan wajah lempengnya.

“Setelah itu Ari sparing dengan Nashwa” guruku menambahkan.

“Waduh..yang benar saja guru?”aku kikuk.

“Iya benar, masa tidak benar” tegasnya.

    Saat sparing dengan Mamat poin ku tertinggal enam poin. Hampir saja aku kalah dengan Mamat. Nashwa pun memberikan suaranya kepada ku “ Ayo..Ari...jangan mau kalah sama Mamat, semangat..” Nashwa, matanya berbinar. Tiba dengan sendirinya kaki ini bergerak dengan penuh semangat, hingga berhasil menyusul poin Mamat. Walaupun selisihnya beda satu poin, tetap saja saya yang menang haha..”Hore..ari menang..”Nashwa bersorak, mulutnya tersenyum lebar.

    Aku pun merasa senang sekali saat itu, walaupun setelah itu aku harus menghadapinya.

“Ari, Nashwa, siap?” guruku bertanya.

“Siap guru” tegas Nashwa

“Siap guru” jawabku, ah dadaku berdegup lebih kencang.  

    Pertarungan pun di mulai, sampai-sampai aku canggung dibuatnya. Coba bayangin, kalo kalian di suruh berantem sama cewe? Pasti..bingungkan, mesti ngapain? Kalo di seriusin, takutnya kelepasan, kalo ngalah bakal kalah dan pasti malu. Di atas matras aku pun bingung mesti ngapain. Sampai-sampai aku tidak fokus dibuatnya. “Duargg” mukaku menjadi sasaran tendangan Nashwa. Waktu itu, katanya sih aku pingsan selama satu menit. Kata mamat, Nashwa sangat khawatir waktu Aku pingsan. Setelah aku sadar, tiba-tiba semua mengerumuniku, bukanya di khawatirin, aku malah diomelin sama guruku “Aduh, aduh gimana kamu ri, masa, sama cewe aja bisa pingsan begini” guruku terkekeh.

    Sebenarnya aku begitu tertarik dengan nashwa sejak pertama kita sparing sampai saat ini. Aku memendam perasaan ini dua tahun lamanya. Sampai akhirnya aku berusaha untuk berbicara kepada Nashwa. Hari esoknya, empat perwakilan dari perguruan kami diantanrany ialah: Mamat, Nashwa, Noval dan Aku. Noval adalah kaka Nashwa, Noval baru latihan lagi disini, Sebelumnya Noval berlatih di tampat atlet senior. Sekarang dia juga ikut sebagai perwakilan dari perguruan kami. Siangnya kami sampai di tempat kejuaraan, disana banyak sekali atlet-atlet yang berbakat seperti kita. Beberapa jam kemudian, bagianku bertanding. Saat bertanding, tiba-tiba aku merasakan sakit yang sangat di dadaku. Tapi aku pantang mundur, kupaksakan dengan sekuat-kuatnya. Hasilnya pun seri, Wasit memberi waktu istirahat selama satu menit. Saat itu Nashwa aga mulai sedikit khawatir padaku. Disitu yang tau akan penyakit asmaku hanya nashwa.

“Ari, jangan dipaksain, kalo memang udah ga kuat, Nashwa khawatir kalo saat bertanding  nanti tiba-tiba gejala asma Ari kambuh lagi” ujar nashwa. Waktu itu nashwa memang menghawatirkan ku akan penyakitku ini, yang bisa membahayakanku saat bertanding nanti, tapi aku tetap memaksakan diriku untuk terus bertanding.

“Tenang aja Nashwa, aku masih kuat kok” ucapku dengan firasat berhasil apa tidak.

“Ya udah, tapi saat pertandingan nanti, kalo Ari merasakan sakit, Ari langsung angkat tangan ya” tegasnya ucapan Nashwa dengan penuh khawatir.

“ Iya..siapp” tegasku dengan firasat baru kalo aku pasti menang.

    Babak penentuan pun dimula. Di atas matras aku berteriak haaaa, ku keluarkan seluruh kemampuan, poin pun saling nyalip-menyalip antara aku dan lawanku. Sampai pada akhirnya “duarrkk” ku tendang bagian mukanya dengan sekeras-kerasnya. Pada akhirnya aku memenangkan pertandingan tersebut. Langsung aku sujud sukur. Aku pun tidak menyangka sih, kalo waktu itu aku yang bakal menjadi pemenangnya, di lihat dari kondisiku yang pada waktu itu mungkin aku yang akan kalah, tapi dengan semangat dan dukungan yang nashwa berikan kepadaku, seakan akan menjadi energi positif bagi diriku ini.

    Dua hari setelah pertandingan, aku memulihkan kembali staminaku dengan berolah raga dan terus berlatih, tempatnya di lapangan pusat olah raga. Aku pun berlari memutari lapangan pusat olahraga tersebut. Tidak lama kemudian aku bertemu Mamat, Mamat juga sering latihan disini, tapi akhir-akhir ini jarang sekali dia latihan di sini dan kebetulan aku bertemu dengannya. “Hei ri, selamat yah buat kemenangannya, waktu itu kamu hebat banget, padahal kondisinya tidak memungkinkan kamu bisa menang loh” ujar mamat yang masih heran dengan kondisiku waktu itu bisa menang.

“ya iya lah, ini semua berkat nash..eh latihan dan kerja keras” kecerobohan ini membuatku keceplosan atas alasan yang sebenarnya.

“Ayo..ketahuan  kamu ri, nash apa tadi? Nashwa?” Sindir Mamat.

Saat itu aku keceplosan dan menimbulkan rasa malu yang sangat dalam hingga menusuk urat nadiku dan membuatku berbohong atas perasaan ku terhadap nashwa.

“Bukan..maksudnya nash itu..nasehat. kemenangan ini berkat semua nasehat yang di berikan guru kepada kita” ucapku dengan  terbelit-belit. “Udah ri, akui saja kalo kamu itu suka kan sama nashwa, siapa si atlet yang ga suka sama nashwa, banyak loh atlet-atlet lain yang berusaha ingin mendapatkan perhatiannya. Aku pun terpojok oleh omongan mamat, aku hanya bisa mendengarkan pembicaraanya sampai ia berhenti berbicara, bujukan pun terus keluar bertubi-tubi dari mulut mamat. “Lagian ya, kalo aku jadi kamu ri, mungkin aku sudah mengatakan isi hatiku kepadanya. di tambah, kamu tuh  sudah sering mendapatkan perhatian darinya, dari pada ntar nyesel keburu di pepet orang lain, aku lebih ikhlas kalo nashwa itu cocoknya sama kamu ri” ujar mamat

“oke, oke, mat, akan ku ungkapkan seluruh isi hatiku kepada nashwa, tapi ntar, ada waktunya” habisnya alasan membuatku tidak bisa mengelak ucapan Mamat.

“Gitu dong..itu baru atlet sejati, sama lawan berani sama cewe juga harus berani, berani ungkapin perasaan yang sebenarnya” Bangganya Mamat karena telah berhasil membujuk ku.

    Ke esokan harinya mamat menemaniku untuk menemui nashwa di rumahanya, dengan gajah besinya, mamat bersemangat menemaniku untuk menemui nashwa, padahal masih diperjalan, hatiku pun sudaah mendebar-debar, dalam arti aku bingung akan hati ini untuk berbicara langsung dengan nashwa, ditambah lagi ini berlangsung tepat di rumahnya. Tak lama kemudian akhirnya pun sampai di depan pagar rumahnya, turunlah rahmat dari kendaraannya kemudian di susul olehku. Setelah kedua kaki mendarat di rerumputan depan pagar rumah nashwa, tiba-tiba aku melihat nashwa sedang menjamu orang lain.

“Tunggu dulu mat, coba kamu lihat, itu nashwa dengan siapa ya? Kayanya mereka dekat sekali” langsung terarah pandanganku ke depan.

“Mana ri..” menengak-nengok dengan rasa ingin taunya.

“itu coba kamu lihat baik-baik” terfokus pandangannya ke depan sepertiku

“oh iya ri aku melihatnya, tapi ga tau orang itu siapa” sembari meninggikan pundaknya dikit.

“Mat, aku mau tanya sama kamu, bahasa inggrisnya bulan itu apa?” kuhibur diriku agar tidak kecewa karena terlambat. “Bahasa inggrisnya bulan itu Moon” jawab mamat yang agak heran

“kalo pintu?” tanyaku selanjutnya.

“pintu itu..door” jawabannya pun semakin heran karena pertanyaanku barusan.

“yaudah mat itu dia, aku lebih memilih untuk moondoor aja” pilihan terakhirku karena kejadian itu. “lah kenapa?” terheran ekspresinya kepadaku. “ga papa mat, mungkin nashwa bukan cinta yang sesungguhnya buat ku, lagian aku juga sudah bersukur ko bisa mengenal nashwa begitu lama dan sering mendapatkan perhatian darinya.” Sebenarnya sih bisa saja waktu aku langsung berbicara langsung kepada nashwa. Tapi aku lebih memilih tidak sama sekali, Alasanku tidak mengatakannya, karena aku tidak mau sesuatu yang terjadi pada Reina bisa terjadi kepada diriku dan juga nashwa, kalo kita jadian pada waktu. Aku khawatir karena cinta, yang tadinya bisa dekat dan bahagia bisa berpisah karena masalah yang ada pada rasa cinta. Karena sebuah masalah sepele yang ada pada diri remaja yang bisa mengakibatkan cinta bisa berubah menjadi petaka.

 

 


No comments:

Post a Comment